Rabu, 22 Juni 2016

Pengertian Tazkiyah


A.    Pengertian Tazkiyah
Tazkiyah, secara bahasa (harfiah) berarti Tathahhur, maksudnya bersuci. Seperti yang terkandung dalam kata zakat, yang memiliki makna mengeluarkan sedekah berupa harta yang berarti tazkiyah (penyucian). Karena dengan mengeluarkan zakat, seseorang berarti telah menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia tunaikan.
Penyucian atau at tazkiyah dalam bahasa arab berasal dari kata zakaa - yazku  - zakaa-an yang berarti suci. At tazkiyah berarti tumbuh, suci dan berkah.[1]
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa at tazkiyah adalah menjadikan sesuatu menjadi suci baik zatnya maupun keyakinan dan fisiknya. Allah ta’ala mensifati orang-orang yang menyucikan jiwa itu dengan keberuntungan dan mensifati orang-orang yang mengotorinya dengan kerugian.
Allah ta’ala berfirman ,
ق فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) َدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyuci-kan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (asy  syams).
Ibnu jarir ath thobari menafsirkan bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang Allah sucikan jiwanya dari kekufuran dan kemaksiatan, serta memperbaikinya dengan amal sholeh.[2]
Untuk mendapatkan keberuntungan tersebut dari Allah ta’ala ibnu katsir menjelaskan bahwa manusia harus menempuh jalan yaitu mentaati Allah, membersihkan jiwanya dari akhlaq tercela serta membersihkan jiwa dari berbagai hal yang hina.[3]
B.     Bentuk-bentuk Tazkiyah
  1. Pandai bersyukur (شَكُوْرٌ)
  2. Penyabar (صَبُوْرٌ)
  3. Amat belas kasihan (رَؤُوْفٌ)
  4. Penyayang (رَحِيْمٌ)
  5. Santun dan bijaksana (حَلِيْمٌ)
  6. Selalu bertaubat (أَوَّابٌ)
  7. Lemah lembut (أَوَّهٌ)
  8. Sangat jujur (صَدُوْقٌ)
  9. Dapat dipercaya (أَمِيْنٌ)


1.      Pandai bersyukur (شَكُوْرٌ)
Kata syukur (شُكُوْر) adalah bentuk mashdar dari kata kerja syakara – yasykuru --  syukran – wa syukuran – wa syukranan (شَكَرَ – يَشْكُرُ – شُكْرًا – وَشُكُوْرًا– وَشُكْرَانًا). Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf syin (شِيْن), kaf (كَاف), dan ra’ (رَاء), yang mengandung makna antara lain ‘pujian atas kebaikan’ dan ‘penuhnya sesuatu’.
Dalam Al-Quran kata "syukur" dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata SYUKUR yaitu:
a.       Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh, hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.
b.      Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.
c.       Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
d.      Pernikahan, atau alat kelamin.
K.H. Ahmad Rifa’i mengartikan secara bahasa syukur adalah senang hatinya, sedang menurut istilah adalah mengetahui nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah yakni nikmat iman dan taat yang maha luhur memuji Allah, Tuhan yang sebenarnya yang memberikan sandang dan pangan kemudian nikmat yang diberikan oleh Allah itu digunakan untuk berbakti kepada-Nya sekurang-kurangnya memenuhi kewajiban dan meninggalkan maksiat secara lahir dan batin sebatas kemampuan.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa inti syukur adalah mengetahui dan menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Luhur. Oleh karena itu manusia wajib menghayati dan mensyukuri nikmat Allah,maka akan ditambah nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya:
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memberitahukan: sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu menginkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih.”
Untuk mensyukuri nikmat Allah ada tiga cara:
a.       Mengucapkan pujian kepada Allah dengan ucapan Alhamdulillah.
b.      Segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada hambanya harus dipergunakan untuk berbakti (beribadah) kepada Allah.
c.       Menunaikan perintah-perintah-Nya minimal ibadah wajib dan meninggalkan maksiat dengan ikhlas lahir dan batin.
Ni’mat ada dua:
(1). Ni’mat yang diminta: rizki, hidayah, dll
(2) Ni’mat yang tidak diminta: kelengkapan anggota badan, udara untuk bernapas, dll
         Jadi:
        Ni’mat à syukur à ni’mat
        Ni’mat à kufur à adzab

Kedudukan Syukur
  1. Allah menyandingkan syukur dengan dzikir, padahal dzikir itu lebih besar keutamaannya.
  2. Syukur juga disebut jalan yang lurus.
  3. Begitu tingginya tingkatan syukur, hingga Iblis pun menyerang manusia dari aspek ini.
  4. Syukur juga pembuka pembicaraan ahli surga.

2.      Penyabar (صَبُوْرٌ)
Sabar dan syukur memiliki keterkaitan karena manusia tidak terlepas dari cobaan dan ni’mat
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Menakjubkan urusan orang beriman, segala urusannya semuanya baik dan tidak ada yang demikian kecuali pada orang beriman. Apabila menerima kelapangan ia bersyukur, dan apabila ditimpa kemalangan ia bersabar, sehingga baik baginya (HR Muslim).
Sabar menurut bahasa menanggung kesulitan, menurut istilah berarti melaksanakan tiga perkara yang pertama menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan, yang kedua menenggung kesulitan taubat yang benar menjauhi perbuatan maksiat zahir, dhohir batin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa musibah di dunia kosong dari keluhan yang tidak benar.
Dari definisi dapat dipahami bahwa sabar merupakan kemampuan diri dalam menghadapi berbagai macam kesulitan yang antara lain :
a.       Kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam melaksakan ibadah dan menunaikan kewajiban-kewajiban syariat dengan sungguh-sungguh.
b.      Kemampuan untuk menjauhi perbuatan –perbuatan maksiat yang disertai dengan taubat baik secara lahir maupun batin.
c.       Kemempuan untuk menghadapi kesulitan ketika tertimpa musibah tanpa berkeluh kesah.
Orang mukmin yang sabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan sebagaimana tersebut diatas akan memperoleh pahala yang tak terhingga dari sisi Allah SWT. Hal ini sesuai dengan janji Allah dalam surah Az zumar 10 :
Artinya : sesungguhnya yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Keutamaan Sabar
  1. Setiap ibadah pahalanya ditentukan kecuali sabar.
  2. Sabar dikaitkan dengan kemenangan.
  3. Allah menghimpun untuk orang yang sabar berbagai hal yang tidak dihimpun-Nya untuk selain mereka.
Sabar dalam Segala Keadaan
a.       Keadaan yang sejalan dengan hawa nafsunya.
        Kesehatan, keselamatan, harta kekayaan, kedudukan, anak, kemudahan sarana, banyak pengikut dan pendukung, dan semua kelezatan dunia.
b.      Keadaan yang tidak sejalan dengan hawa nafsunya, bahkan dibencinya
        Terkait ikhtiar (ketaatan dan kemaksiatan)
        Tidak terkait ikhtiar tapi ia memiliki ikhtiar untuk menghilangkannya (disakiti tapi tidak membalasnya)
        Tidak terkait ikhtiar  (musibah dan bencana)

3.      Amat belas kasihan (رَؤُوْفٌ)
Baik hati dan menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikapnya, suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan.
Amat belas kasihan sehingga memberikan kemudahan, meringankan bebannya, amat lembut, tawadhu’.
Selain itu sifat ini juga salah satu akhlak Rasulullah SAW yang berasal dari sifat Allah SWT. Sifat ini biasa dilakukan kepada orang-orang beriman, namun kepada orang yang sepatutnya mendapatkan hukuman, tidak boleh ada rasa kasihan meski tidak boleh melampaui batas (membunuhnya padahal hukumannya hanya mencambuk).

4.      Penyayang (رَحِيْمٌ)
Setiap orang membutuhkan sifat kasih sayang, terutama dari Allah SWT. Tetapi sering terjadi orang tidak menampakkan dirinya sebagai orang yang memiliki sifat penyayang kepada sesama makhluk. Padahal sifat penyayang adalah sumber pahala dan menguatnya sifat kasih sayang dari Allah kepadanya.
Ada pun sifat Ar Rahiim (Maha Penyayang) itu adalah khusus bagi hamba-hamba Allah yang beriman. Hamba Allah yang saleh:
"Sungguh Allah lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anak bayinya" (HR Bukhari dan Muslim)
"Dan Dia Yang Memiliki Sifat Penyayang kepada orang-orang yang beriman." (QS Al Ahzab 33:43)

5.      Santun dan bijaksana (حَلِيْمٌ)
Sebagai mana kita ketahui bahwa halim adalah salah satu nama Allah al-hilm (santun dan bijaksan), salah satu sifat para nabi dan rasul, juga adalah sifat yang melekat pada maunusia.
Rasul SAW sangat penyantun kepada anak-anak yatim: “Saya dan orang yang menyantuni anak yatim itu seperti ini” (sambil mendekatkan dua jari beliau). Sifat santun dan bijaksana itu karena memiliki ilmu yang tinggi, juga karena kematangan dirinya, kedewasaan, dan kecerdasan.
Siapa yang diberi hikmah, maka ia telah memperoleh kebaikan yang banyak, sifat hilm juga merupakan sifat pemimpin yang akan membuat baik suatu Negara.
3 pilar negara:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ خَيْرًا وَلَّى عَلَيْهِمْ حُلَمَاءَهُمْ وَقَضَى بَيْنَهُمْ عُلَمَاؤُهُمْ وَجَعَلَ الْمَالَ فِى سُمَحَائِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ شَرًّا وَلَّى عَلَيْهِمْ سُفَهَاءَهُمْ وَقَضَى بَيْنَهُمْ جُهَّالُهُمْ وَجَعَلَ الْمَالَ فِى بُخَلاَئِهِمْ
Jika Allah menghendaki kebaikan suatu kaum, pemimpinnya adalah orang-orang bijak mereka, yang memutuskan perkara adalah ulama mereka, dan dijadikan harta di tangan para dermawan mereka. Dan apabila menghendaki keburukan suatu kaum, pemimpinnya adalah orang dungu mereka, yang memutuskan perkara orang-orang bodoh mereka, dan dijadikan harta di tangan orang-orang kikir mereka (HR Ibnu Abid-Dunya)

6.      Selalu bertaubat (أَوَّابٌ)
Ulama salaf: jangan melihat kecilnya dosa, tapi lihat kepada siapa engkau bermaksiat, taubat adalah kunci kesuksesan
Taubat adalah karunia Allah yang sangat agung, karena dengan adanya taubat ini, orang-orang yang telah bersalah mendapatkan peluang lagi à taubat adalah mekanisme pemulihan.
Al-Ghazali sebagaimana tersebut dalam buku “Ilmu Tasawuf” karangan Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar, mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan:
a.       Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada perintah Allah.
b.      Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut dengan “inabah”.
c.       rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “aubah”.
Taubat merupakan hal yang wajib dilaksanakan dari setiap dosa-dosa, maka jika maksiat (dosa) itu hanya antara ia dengan Allah, tidak ada hubungan dengan manusia. Ada beberapa syarat sah atau diterimanya taubat, yaitu :
a.       Harus menghentikan maksiat.
b.      Harus menyesal atas perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya.
c.       Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kemali.
Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya ditambah dengan syarat keempat, yaitu :
d.      Menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikannya.

7.      Lemah lembut (أَوَّهٌ)
Maksud dari sikap lemah lembut belum juga terungkap dengan jelas. Oleh kerana itu berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat ulama. Imam al-Ghazali mendefinisikan sikap lemah lembut dengan terkalahkannya potensi kemarahan terhadap bimbingan akal. Menurut al-Ghazali, tumbuhnya sifat lemah lembut dalam diri manusia dapat dimulakan dengan melatih diri menahan amarah.
Allah s.w.t. berfirman dalam surah Ali-Imran, 3: 134, yang artinya: “Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.”
Hal ini dapat didapat dengan pelatihan, yaitu dengan cara berusaha berupaya untuk menahan setiap amarah yang sedang bergejolak. Jika seseorang telah terbiasa dengan sikap seperti ini maka sikap lemah lembut akan menjadi akhlaknya, dan amarahnya tidak akan bergejolak, seandainya bergejolakpun dia tidak akan kesulitan mengendalikan.
Sehingga dapat dikatakan bahawa sikap lemah lembut merupakan parameter kesempurnaan akal dalam mengendalikan nafsu amarah.

8.      Sangat jujur (صَدُوْقٌ)
Jujur adalah sikap yang tidak mudah untuk dilakukan jika hati tidak benar-benar bersih. Namun sayangnya sifat yang luhur ini belakangan sangat jarang kita temui, kejujuran sekarang ini menjadi barang langka. Saat ini kita membutuhkan teladan yang jujur, teladan yang bisa diberi amanah umat dan menjalankan amanah yang diberikan dengan jujur dan sebaik-baiknya. Dan teladan yang paling baik, yang patut dicontoh kejujurannya adalah manusia paling utama yaitu Rasulullah saw. Kejujuran adalah perhiasan Rasulullah saw. dan orang-orang yang berilmu.
Asas kejujuran: iman à orang kafir dikatakan dusta karena mendustakan Allah
         Kejujuran à kebaikan à surga. Terbiasa jujur = shiddiq
         Dusta à keburukan à neraka. Terbiasa dusata = pendusta

9.      Dapat dipercaya (أَمِيْنٌ)
Menurut Ibn Al-Araby, amanah adalah segala sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya atau sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya untuk diambil manfaatnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa amanah adalah  menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga maupun jasa.
Rasul SAW diberi gelar “AL-AMIN”, Orang kafir Quraisy meskipun memusuhi dakwah Rasul, tapi dalam urusan menitipkan barang, mereka memercayakannya kepada Rasul.
C.    Pengertian Tadsiyah
Tadsiyah atau pengotoran jiwa adalah menenggelamkan jiwa kedalam dosa dan kemaksiatan. Ibnul qayyim al jauziyah menafsirkan sungguh merugi orang yang menyembunyikan, merendahkan dan menghinakan jiwanya dengan kemaksiatan kepada Allah.[4]
Orang-orang yang mengotori jiwanya adalah mereka yang tersesat dari jalan kebaikan. Ath thobari menafsirkan mereka merugi karena tidak mendapatkan kebaikan bagi dirinya sendiri dalam perjalanannya menempuh kehidupan.[5]
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesunggunya Allah memberikan dua jalan bagi manusia yaitu kebaikan dan keburukan. Orang-orang yang menempuhi jalan kebaikan dengan mentaati Allah dan meninggalkan perbuatan hina maka merekalah yang menempuh jalan tazkiyah, merekalah orang-orang yang beruntung. Sedangkan mereka yang merugi adalah yang tersesat, memilih jalan tadsiyah, dengan menenggelamkan jiwanya ke dalam kemaksiatan. 
Wallahu a’lam.

D.    Bentuk-bentuk Tadsiyah
  1. Tergesa-gesa (عَجُوْلاً)
  2. Keluh Kesah lagi Kikir (هَلُوْعَا)
  3. Gelisah  (Jazuu’a)
  4. Sangat Kikir (قَتُوْرًا)
  5. Sangat Ingkar (كَفُوْرًا)
  6. Pembantah (جَدَلاً)
  7. Tidak Berterima Kasih (كَنُوْدًا)
  8. Zhalim (ظَلُوْمًا)
  9. Bodoh (جَهُوْلاً)



1.      Tergesa-gesa (عَجُوْلاً)
Tergesa-gesa dalam bahasa Arab adalah isti’jal, ‘ajalah, dan tasarru’. Yang keseluruhannya memiliki makna yang sama. Dan lawan kata dari isti’jal adalah anaah dan tatsabbut. Yang artinya adalah pelan-pelan, dan tidak terburu-buru.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya Ar-Ruh bahwa tergesa-gesa adalah keinginan untuk mendapatkan sesuatu sebelum tiba waktunya yang disebabkan oleh besarnya keinginannya terhadap sesuatu tersebut, seperti halnya orang yang memanen buah sebelum datang waktu panennya.
الْأَنَاةُ مِنْ اللَّهِ وَالْعَجَلَةُ مِنْ الشَّيْطَانِ
Kesabaran itu dari Allah, sementara ketergesaan itu dari syaitan (HR Tirmidzi)
Ketergesaan itu akan menghilangkan akal sehat à berantakan kerjanya (tidak ihsan) à tidak memperoleh hasil yang baik.

2.      Keluh Kesah lagi Kikir (هَلُوْعَا)
Keluh kesah dalam jiwa manusia adalah hal yang wajar. Sifat ini mempunyai kehendak yang dimotori oleh setan.
Sifat keluh kesah ini sama sekali tidak boleh dituruti kehendaknya. Ia akan senantiasa menggambarkan ketidakberdayaan dalam mengarungi kehidupan , jauh dari nilai-nilai kesabaran dan kepribadian yang qana’ah. Jika diikuti kemauannya maka stress dan putus asa akan selalu menghantuinya.
Allah SWT. menegaskan sifat negatif ini dalam firman-Nya:
Artinya: Sesungguhynya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (keuntungan) ia amat kikir. (QS. Al-Ma’aarij:19-21)
Sifat keluh kesah lagi kikir ini kebalikan dari sabar dan syukur, satu istilah tapi merangkum dua sifat yang buruk
        Jika mendapat musibah meski ringan à keluh kesah, seolah Allah tidak pernah memberikan ni’mat, padahal ni’mat itu lebih banyak dari bala. Bahkan berkata.
        Tapi jika mendapat ni’mat à sombong.


3.      Gelisah  (Jazuu’a)
“Gelisah”, inilah salah satu jenis penyakit yang sering kali menyerang pertahanan hati. Gelisah merupakan penyakit hati  yang banyak menyerang manusia, baik orang tua maupun para generasi muda.
Gelisah merupakan salah satu  penyakit hati yang sangat berbahaya. Satu penyakit hati ini saja mampu memberikan berbagai efek negatif dalam kehidupan seseorang. Karena gelisah, seseorang dapat terjerumus kepada pelarian yang tidak semestinya, seperti malas belajar dan sekolah, malas bekerja,  minum minuman yang memabukkan dan menggunakan obat-obatan terlarang (miras), terjerumus pada seks bebas, terdampar dalam dunia diskotik  yang penuh dengan maksiat, dan berbagai sarana pelarian lainnya yang mengandung unsur-unsur maksiat. Jadi, satu penyakit hati ini saja dapat menimbulkan berbagai macam efek negatif dalam kehidupan seseorang, minimal akan menurunkan dan atau menghilangkan prestasinya, dan maksimal akan melemparnya ke limbah maksiat dan dosa.

4.      Sangat Kikir (قَتُوْرًا)
Kikir dalam bahasa Arab disebut sebagai bakhil dan menurut istilah berarti sifat seseorang yang amat tercela dan hina, tidak hendak mengeluarkan harta yang wajib di keluarkan baik dalam ketentuan agama seperti zakat, nafkah keluarga atau menurut ketentuan perikemanusiaan seperti sedekah, infak, dan hadiah.
Imam Ibnu Jauzi dalam kitabnya at-thibbu ar-ruhi mendefinisikan kikir sebagai sifat enggan menunaikan kewajiban, baik harta benda ajau jasa.
Salah satu sifat kikir sampai keperluannya sendiri pun enggan membelanjakannya (suka menumpuk-numpuk harta saja), apalagi untuk orang lain, Menganggap hartanya akan kekal.

5.      Sangat Ingkar (كَفُوْرًا)
Kaffar atau kafur:
a.       menyangkal ni’mat Allah yang telah diberikan kepadanya,
b.      membayarnya dengan beribadah kepada yang tidak memberikan ni’mat, dan meninggalkan taat kepada yang memberi ni’mat.
Padahal Allah telah memberi semua yang telah diminta dan pemberianNya tak terhitung, itu karena mereka yakin bahwa ni’mat ada karena ilmu yang mereka miliki.

6.      Pembantah (جَدَلاً)
Allah telah menyadarkan kepada manusia dengan berbagai jalan (perumpamaan), tapi dibantah.
Bahkan dengan berbagai nasihat dan hujjah agar ingat, kembali (taubat), mengambil ibrah dari berbagai peribadatan kepada selain Allah, tapi yang ada malah keraguan dan penentangan, tidak kembali kepada kebenaran dan mendengar nasihat.
”Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (Q.S. an-Nahl 4)

7.      Tidak Berterima Kasih (كَنُوْدًا)
Allah menyebutkan empat sikap manusia terhadap ni’matNya: halu’a, qatura, kafura, kanuda à banyak manusia yang tidak bersyukur  à sedikit yang mau beribadah kepadaNya. Karena dorongan ibadah adalah merasakan banyaknya ni’mat Allah dan keagunganNya.

8.      Zhalim (ظَلُوْمًا)
Zalim secara bahasa mengandung pengertian "aniaya/celaka" . Zalim secara istilah mengandung pengertian "berbuat aniaya/celaka terhadap diri sendiri atau orang lain dengan cara bathil yang keluar dari jalur syariat Agama Islam". Disisi lain zalim berarti "menempatkan/meletakkan sesuatu tidak kena/sesuai dengan tempatnya". Zalim merupakan perbuatan yang di larang oleh Allah SWT dan termasuk dari salah satu dosa besar. Manusia yang berbuat zalim akan mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran:
"Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih". (Surah Asy-Syura : 42).
"Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang amat besar."(Surah Luqman, ayat 13)
Zhalim: menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya
  1. Terhadap ni’mat Allah : sepatutnya menempatkan dirinya sebagai orang yang bersyukur, tapi malah kufur
  2. Terhadap hukum Allah : sepatutnya melaksanakan dan membelanya, malah meninggalkan dan menyerangnya serta mencari hukum lain
  3. Terhadap amanah : sepatutnya menunaikannya, malah mengkhianatinya, seperti kasus Qabil
  4. Terhadap tauhid : sepatutnya mentauhidkan Allah, malah musyrik

9.      Bodoh (جَهُوْلاً)
Bukan karena tidak berpengetahuan seperti pengetahuan pada umumnya, tapi bodoh pada sesuatu yang asasi: mengenal Pencipta (Allah SWT).
Kondisi umat Islam digambarkan oleh Abdul Qadir Audah dalam buku yang bertajuk Islam di antara Kebodohan Umatnya dan Kelemahan Ulama.
















BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyucian atau at tazkiyah dalam bahasa arab berasal dari kata zakaa - yazku  - zakaa-an yang berarti suci. At tazkiyah berarti tumbuh, suci dan berkah.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa at tazkiyah adalah menjadikan sesuatu menjadi suci baik zatnya maupun keyakinan dan fisiknya. Allah ta’ala mensifati orang-orang yang menyucikan jiwa itu dengan keberuntungan dan mensifati orang-orang yang mengotorinya dengan kerugian.
Bentuk-bentuk Tazkiyah: Pandai bersyukur (شَكُوْرٌ), Penyabar (صَبُوْرٌ), Amat belas kasihan (رَؤُوْفٌ), Penyayang (رَحِيْمٌ), Santun dan bijaksana (حَلِيْمٌ), Selalu bertaubat (أَوَّابٌ), Lemah lembut (أَوَّهٌ), Sangat jujur (صَدُوْقٌ), Dapat dipercaya (أَمِيْنٌ).
Tadsiyah atau pengotoran jiwa adalah menenggelamkan jiwa kedalam dosa dan kemaksiatan. Ibnul qayyim al jauziyah menafsirkan sungguh merugi orang yang menyembunyikan, merendahkan dan menghinakan jiwanya dengan kemaksiatan kepada Allah.
Bentuk-bentuk Tadsiyah: Tergesa-gesa (عَجُوْلاً), Keluh Kesah lagi Kikir (هَلُوْعَا), Gelisah  (Jazuu’a), Sangat Kikir (قَتُوْرًا), Sangat Ingkar (كَفُوْرًا), Pembantah (جَدَلاً), Tidak Berterima Kasih (كَنُوْدًا), Zhalim (ظَلُوْمًا), Bodoh (جَهُوْلاً).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesunggunya Allah memberikan dua jalan bagi manusia yaitu kebaikan dan keburukan. Orang-orang yang menempuhi jalan kebaikan dengan mentaati Allah dan meninggalkan perbuatan hina maka merekalah yang menempuh jalan tazkiyah, merekalah orang-orang yang beruntung. Sedangkan mereka yang merugi adalah yang tersesat, memilih jalan tadsiyah, dengan menenggelamkan jiwanya ke dalam kemaksiatan. 
Wallahu a’lam.







[1] Ibnu Taimiyah : Majmu al Fatawa. Saudi Arabia: Percetakan Mushaf Raja Fahd . 1416 H, 10/97
[2] Imam Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, 24/454
[3] Imam Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur-an al Adzhim. Daar thoyyibah li an nashr wa at tauzi’, 1420 H, 8/412
[4] Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah: Tafsir al Qur’an al Karim. Beirut: Daar wa Maktabah al Hilal. 1410 H, 571.
[5] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/457.

0 komentar:

Posting Komentar