A.
Pengertian
Tazkiyah
Tazkiyah, secara
bahasa (harfiah) berarti Tathahhur, maksudnya bersuci. Seperti yang
terkandung dalam kata zakat, yang memiliki makna mengeluarkan sedekah berupa
harta yang berarti tazkiyah (penyucian). Karena dengan mengeluarkan
zakat, seseorang berarti telah menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia
tunaikan.
Penyucian
atau at tazkiyah dalam bahasa arab berasal dari kata zakaa - yazku -
zakaa-an yang berarti suci. At tazkiyah berarti tumbuh, suci dan berkah.[1]
Ibnu
Taimiyah menjelaskan bahwa at tazkiyah adalah menjadikan sesuatu menjadi suci
baik zatnya maupun keyakinan dan fisiknya. Allah ta’ala mensifati orang-orang yang menyucikan jiwa itu dengan
keberuntungan dan mensifati orang-orang yang mengotorinya dengan kerugian.
Allah ta’ala
berfirman ,
ق
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) َدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
“Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang menyuci-kan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya” (asy syams).
Ibnu jarir
ath thobari menafsirkan bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang
Allah sucikan jiwanya dari kekufuran dan kemaksiatan, serta memperbaikinya
dengan amal sholeh.[2]
Untuk
mendapatkan keberuntungan tersebut dari Allah ta’ala ibnu katsir menjelaskan
bahwa manusia harus menempuh jalan yaitu mentaati Allah, membersihkan jiwanya
dari akhlaq tercela serta membersihkan jiwa dari berbagai hal yang hina.[3]
B.
Bentuk-bentuk Tazkiyah
- Pandai bersyukur (شَكُوْرٌ)
- Penyabar (صَبُوْرٌ)
- Amat belas kasihan (رَؤُوْفٌ)
- Penyayang (رَحِيْمٌ)
- Santun dan bijaksana (حَلِيْمٌ)
- Selalu bertaubat (أَوَّابٌ)
- Lemah lembut (أَوَّهٌ)
- Sangat jujur (صَدُوْقٌ)
- Dapat dipercaya (أَمِيْنٌ)
1.
Pandai bersyukur (شَكُوْرٌ)
Kata syukur (شُكُوْر) adalah bentuk
mashdar dari kata kerja syakara – yasykuru --
syukran – wa syukuran – wa syukranan (شَكَرَ – يَشْكُرُ – شُكْرًا –
وَشُكُوْرًا– وَشُكْرَانًا). Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf syin
(شِيْن), kaf (كَاف), dan ra’ (رَاء), yang mengandung makna antara lain ‘pujian
atas kebaikan’ dan ‘penuhnya sesuatu’.
Dalam Al-Quran kata
"syukur" dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh
empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat
arti dasar dari kata SYUKUR yaitu:
a.
Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh, hakikatnya
adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa
menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan
sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang
tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.
b.
Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur
dilukiskan dengan kalimat syakarat
asy-syajarat.
c.
Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
d.
Pernikahan, atau alat kelamin.
K.H. Ahmad
Rifa’i mengartikan secara bahasa syukur adalah
senang hatinya, sedang menurut istilah adalah mengetahui nikmat-nikmat yang
diberikan oleh Allah yakni nikmat
iman dan taat yang maha luhur memuji Allah, Tuhan yang sebenarnya yang
memberikan sandang dan pangan kemudian nikmat yang diberikan oleh Allah itu
digunakan untuk berbakti kepada-Nya sekurang-kurangnya memenuhi kewajiban dan
meninggalkan maksiat secara lahir dan batin sebatas kemampuan.
Dari
definisi diatas dapat dipahami bahwa inti syukur adalah mengetahui dan menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Allah
Yang Maha Luhur. Oleh karena itu manusia wajib menghayati dan mensyukuri nikmat
Allah,maka akan ditambah nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya,
sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya:
“Dan
ingatlah tatkala Tuhanmu memberitahukan: sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu menginkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih.”
Untuk mensyukuri nikmat Allah
ada tiga cara:
a. Mengucapkan pujian kepada Allah dengan ucapan Alhamdulillah.
b. Segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada hambanya harus
dipergunakan untuk berbakti (beribadah) kepada Allah.
c. Menunaikan perintah-perintah-Nya minimal ibadah wajib dan meninggalkan maksiat dengan ikhlas lahir dan
batin.
Ni’mat ada dua:
(1). Ni’mat yang diminta: rizki, hidayah, dll
(2) Ni’mat yang tidak diminta: kelengkapan anggota badan, udara untuk bernapas,
dll
•
Jadi:
–
Ni’mat à syukur à ni’mat
–
Ni’mat à kufur à adzab
Kedudukan Syukur
- Allah menyandingkan syukur dengan dzikir, padahal dzikir itu lebih besar keutamaannya.
- Syukur juga disebut jalan yang lurus.
- Begitu tingginya tingkatan syukur, hingga Iblis pun menyerang manusia dari aspek ini.
- Syukur juga pembuka pembicaraan ahli surga.
2.
Penyabar (صَبُوْرٌ)
Sabar dan
syukur memiliki keterkaitan karena manusia tidak terlepas dari cobaan dan
ni’mat
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ
أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ
صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Menakjubkan
urusan orang beriman, segala urusannya semuanya baik dan tidak ada yang
demikian kecuali pada orang beriman. Apabila menerima kelapangan ia bersyukur,
dan apabila ditimpa kemalangan ia bersabar, sehingga baik baginya (HR Muslim).
Sabar menurut bahasa menanggung
kesulitan, menurut istilah
berarti melaksanakan tiga perkara yang pertama menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan, yang kedua menenggung kesulitan taubat yang benar menjauhi
perbuatan maksiat zahir, dhohir batin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa musibah di dunia kosong dari keluhan
yang tidak benar.
Dari
definisi dapat dipahami bahwa sabar merupakan kemampuan diri dalam menghadapi berbagai macam kesulitan yang antara lain :
a. Kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam melaksakan ibadah dan menunaikan
kewajiban-kewajiban syariat dengan sungguh-sungguh.
b. Kemampuan untuk menjauhi perbuatan –perbuatan maksiat yang disertai dengan
taubat baik secara lahir maupun batin.
c. Kemempuan untuk menghadapi kesulitan ketika tertimpa musibah tanpa berkeluh
kesah.
Orang mukmin
yang sabar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan sebagaimana tersebut diatas akan memperoleh pahala yang tak terhingga dari sisi Allah
SWT. Hal ini sesuai dengan janji Allah dalam surah Az zumar 10 :
Artinya : sesungguhnya yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Keutamaan Sabar
- Setiap ibadah pahalanya ditentukan kecuali sabar.
- Sabar dikaitkan dengan kemenangan.
- Allah menghimpun untuk orang yang sabar berbagai hal yang tidak dihimpun-Nya untuk selain mereka.
Sabar dalam Segala Keadaan
a.
Keadaan yang
sejalan dengan hawa nafsunya.
–
Kesehatan,
keselamatan, harta kekayaan, kedudukan, anak, kemudahan sarana, banyak pengikut
dan pendukung, dan semua kelezatan dunia.
b.
Keadaan yang
tidak sejalan dengan hawa nafsunya, bahkan dibencinya
–
Terkait
ikhtiar (ketaatan dan kemaksiatan)
–
Tidak
terkait ikhtiar tapi ia memiliki ikhtiar untuk menghilangkannya (disakiti tapi
tidak membalasnya)
–
Tidak
terkait ikhtiar (musibah dan bencana)
3.
Amat belas kasihan (رَؤُوْفٌ)
Baik hati dan menarik budi bahasanya, manis tutur
kata dan sikapnya, suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan.
Amat belas kasihan sehingga
memberikan kemudahan, meringankan bebannya, amat lembut, tawadhu’.
Selain itu sifat ini juga salah satu akhlak Rasulullah SAW yang berasal dari sifat Allah SWT. Sifat ini biasa dilakukan kepada orang-orang beriman, namun kepada orang yang sepatutnya mendapatkan hukuman, tidak boleh ada rasa
kasihan meski tidak boleh melampaui batas (membunuhnya padahal hukumannya hanya
mencambuk).
4. Penyayang
(رَحِيْمٌ)
Setiap orang
membutuhkan sifat kasih sayang, terutama dari Allah SWT. Tetapi sering terjadi
orang tidak menampakkan dirinya sebagai orang yang memiliki sifat penyayang
kepada sesama makhluk. Padahal sifat penyayang adalah sumber pahala dan
menguatnya sifat kasih sayang dari Allah kepadanya.
Ada pun sifat Ar Rahiim (Maha Penyayang) itu adalah
khusus bagi hamba-hamba Allah yang beriman. Hamba Allah yang saleh:
"Sungguh Allah lebih penyayang terhadap
hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anak bayinya" (HR Bukhari
dan Muslim)
"Dan Dia Yang Memiliki Sifat Penyayang kepada
orang-orang yang beriman." (QS Al Ahzab 33:43)
5. Santun
dan bijaksana (حَلِيْمٌ)
Sebagai mana kita ketahui bahwa
halim adalah salah satu nama Allah al-hilm (santun dan bijaksan), salah satu
sifat para nabi dan rasul, juga adalah sifat yang melekat pada maunusia.
Rasul SAW
sangat penyantun kepada anak-anak yatim: “Saya dan orang yang menyantuni anak
yatim itu seperti ini” (sambil mendekatkan dua jari beliau). Sifat santun dan bijaksana itu karena memiliki ilmu yang tinggi, juga karena
kematangan dirinya, kedewasaan, dan kecerdasan.
Siapa yang diberi hikmah, maka ia telah memperoleh kebaikan yang banyak, sifat hilm juga merupakan sifat pemimpin yang akan membuat baik suatu Negara.
3 pilar negara:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ خَيْرًا
وَلَّى عَلَيْهِمْ حُلَمَاءَهُمْ وَقَضَى بَيْنَهُمْ عُلَمَاؤُهُمْ وَجَعَلَ
الْمَالَ فِى سُمَحَائِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ شَرًّا وَلَّى عَلَيْهِمْ
سُفَهَاءَهُمْ وَقَضَى بَيْنَهُمْ جُهَّالُهُمْ وَجَعَلَ الْمَالَ فِى
بُخَلاَئِهِمْ
Jika Allah
menghendaki kebaikan suatu kaum, pemimpinnya adalah orang-orang bijak mereka,
yang memutuskan perkara adalah ulama mereka, dan dijadikan harta di tangan para
dermawan mereka. Dan apabila menghendaki keburukan suatu kaum, pemimpinnya
adalah orang dungu mereka, yang memutuskan perkara orang-orang bodoh mereka,
dan dijadikan harta di tangan orang-orang kikir mereka (HR Ibnu Abid-Dunya)
6. Selalu
bertaubat (أَوَّابٌ)
Ulama salaf: jangan melihat kecilnya dosa, tapi lihat kepada siapa
engkau bermaksiat, taubat adalah kunci kesuksesan
Taubat adalah karunia Allah yang sangat agung, karena dengan adanya
taubat ini, orang-orang yang telah bersalah mendapatkan peluang lagi à taubat adalah mekanisme pemulihan.
Al-Ghazali sebagaimana
tersebut dalam buku “Ilmu Tasawuf” karangan Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar,
mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan:
a. Meninggalkan
kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut
kepada perintah Allah.
b. Beralih
dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam
tasawuf keadaan ini sering disebut dengan “inabah”.
c. rasa
penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada
Allah, hal ini disebut “aubah”.
Taubat merupakan hal
yang wajib dilaksanakan dari setiap dosa-dosa, maka jika maksiat (dosa) itu
hanya antara ia dengan Allah, tidak ada hubungan dengan manusia. Ada beberapa
syarat sah atau diterimanya taubat, yaitu :
a. Harus
menghentikan maksiat.
b. Harus
menyesal atas perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya.
c. Niat
bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kemali.
Dan apabila dosa itu
ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya ditambah dengan syarat
keempat, yaitu :
d. Menyelesaikan
urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya atau
mengembalikan apa yang harus dikembalikannya.
7. Lemah
lembut (أَوَّهٌ)
Maksud dari sikap lemah lembut belum juga terungkap dengan
jelas. Oleh kerana itu berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat ulama.
Imam al-Ghazali mendefinisikan sikap lemah lembut dengan terkalahkannya potensi
kemarahan terhadap bimbingan akal. Menurut al-Ghazali, tumbuhnya sifat lemah
lembut dalam diri manusia dapat dimulakan dengan melatih diri menahan amarah.
Allah s.w.t. berfirman dalam surah Ali-Imran, 3: 134, yang
artinya: “Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang.”
Hal ini dapat didapat dengan pelatihan, yaitu dengan cara
berusaha berupaya untuk menahan setiap amarah yang sedang bergejolak. Jika
seseorang telah terbiasa dengan sikap seperti ini maka sikap lemah lembut akan
menjadi akhlaknya, dan amarahnya tidak akan bergejolak, seandainya
bergejolakpun dia tidak akan kesulitan mengendalikan.
Sehingga dapat
dikatakan bahawa sikap lemah lembut merupakan parameter kesempurnaan akal dalam
mengendalikan nafsu amarah.
8. Sangat
jujur (صَدُوْقٌ)
Jujur adalah sikap yang
tidak mudah untuk dilakukan jika hati tidak benar-benar bersih. Namun sayangnya
sifat yang luhur ini belakangan sangat jarang kita temui, kejujuran sekarang
ini menjadi barang langka. Saat ini kita membutuhkan teladan yang jujur,
teladan yang bisa diberi amanah umat dan menjalankan amanah yang diberikan
dengan jujur dan sebaik-baiknya. Dan teladan yang paling baik, yang patut
dicontoh kejujurannya adalah manusia paling utama yaitu Rasulullah saw.
Kejujuran adalah perhiasan Rasulullah saw. dan orang-orang yang berilmu.
Asas
kejujuran: iman à orang kafir dikatakan dusta karena mendustakan Allah
•
Kejujuran
à kebaikan à surga. Terbiasa jujur = shiddiq
•
Dusta
à keburukan à neraka. Terbiasa dusata = pendusta
9. Dapat
dipercaya (أَمِيْنٌ)
Menurut Ibn Al-Araby, amanah adalah segala
sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya atau sesuatu yang diambil dengan
izin pemiliknya untuk diambil manfaatnya.
Dari beberapa pengertian di atas,
dapat diambil suatu pengertian bahwa amanah adalah menyampaikan hak apa
saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak
mengurangi hak orang lain, baik berupa harga maupun jasa.
Rasul SAW diberi gelar “AL-AMIN”, Orang kafir Quraisy meskipun memusuhi dakwah Rasul,
tapi dalam urusan menitipkan barang, mereka memercayakannya kepada Rasul.
C.
Pengertian
Tadsiyah
Tadsiyah atau pengotoran jiwa adalah menenggelamkan jiwa kedalam dosa dan
kemaksiatan. Ibnul qayyim al jauziyah menafsirkan sungguh merugi orang yang
menyembunyikan, merendahkan dan menghinakan jiwanya dengan kemaksiatan kepada
Allah.[4]
Orang-orang
yang mengotori jiwanya adalah mereka yang tersesat dari jalan kebaikan. Ath
thobari menafsirkan mereka merugi karena tidak mendapatkan kebaikan bagi
dirinya sendiri dalam perjalanannya menempuh kehidupan.[5]
Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa sesunggunya Allah memberikan dua jalan bagi
manusia yaitu kebaikan dan keburukan. Orang-orang yang menempuhi jalan kebaikan
dengan mentaati Allah dan meninggalkan perbuatan hina maka merekalah yang
menempuh jalan tazkiyah, merekalah orang-orang yang beruntung. Sedangkan mereka
yang merugi adalah yang tersesat, memilih jalan tadsiyah, dengan menenggelamkan
jiwanya ke dalam kemaksiatan.
Wallahu a’lam.
D.
Bentuk-bentuk Tadsiyah
- Tergesa-gesa (عَجُوْلاً)
- Keluh Kesah lagi Kikir (هَلُوْعَا)
- Gelisah (Jazuu’a)
- Sangat Kikir (قَتُوْرًا)
- Sangat Ingkar (كَفُوْرًا)
- Pembantah (جَدَلاً)
- Tidak Berterima Kasih (كَنُوْدًا)
- Zhalim (ظَلُوْمًا)
- Bodoh (جَهُوْلاً)
1.
Tergesa-gesa (عَجُوْلاً)
Tergesa-gesa dalam bahasa Arab
adalah isti’jal, ‘ajalah, dan tasarru’. Yang keseluruhannya
memiliki makna yang sama. Dan lawan kata dari isti’jal adalah anaah
dan tatsabbut. Yang artinya adalah pelan-pelan, dan tidak
terburu-buru.
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata dalam kitabnya Ar-Ruh bahwa tergesa-gesa adalah keinginan untuk
mendapatkan sesuatu sebelum tiba waktunya yang disebabkan oleh besarnya
keinginannya terhadap sesuatu tersebut, seperti halnya orang yang memanen buah
sebelum datang waktu panennya.
الْأَنَاةُ مِنْ اللَّهِ
وَالْعَجَلَةُ مِنْ الشَّيْطَانِ
Kesabaran
itu dari Allah, sementara ketergesaan itu dari syaitan (HR Tirmidzi)
Ketergesaan itu akan menghilangkan akal sehat à berantakan kerjanya (tidak ihsan) à tidak memperoleh hasil yang baik.
2.
Keluh Kesah lagi Kikir (هَلُوْعَا)
Keluh
kesah dalam jiwa
manusia adalah hal yang wajar. Sifat ini mempunyai kehendak yang dimotori oleh
setan.
Sifat keluh kesah ini sama sekali
tidak boleh dituruti kehendaknya. Ia akan senantiasa menggambarkan
ketidakberdayaan dalam mengarungi kehidupan , jauh dari nilai-nilai kesabaran
dan kepribadian yang qana’ah. Jika diikuti kemauannya maka stress dan
putus asa akan selalu menghantuinya.
Allah SWT. menegaskan sifat negatif ini dalam
firman-Nya:
Artinya: Sesungguhynya manusia diciptakan bersifat
keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan
apabila ia mendapat kebaikan (keuntungan) ia amat kikir. (QS.
Al-Ma’aarij:19-21)
Sifat keluh kesah lagi kikir ini kebalikan dari sabar dan syukur,
satu istilah tapi merangkum
dua sifat yang buruk
–
Jika
mendapat musibah meski ringan à keluh kesah, seolah Allah tidak pernah memberikan
ni’mat, padahal ni’mat itu lebih banyak dari bala. Bahkan berkata.
–
Tapi
jika mendapat ni’mat à sombong.
3.
Gelisah
(Jazuu’a)
“Gelisah”, inilah salah satu jenis penyakit yang sering kali
menyerang pertahanan hati. Gelisah merupakan penyakit hati yang banyak
menyerang manusia, baik orang tua maupun para generasi muda.
Gelisah merupakan salah satu penyakit hati yang sangat
berbahaya. Satu penyakit hati ini saja mampu memberikan berbagai efek negatif
dalam kehidupan seseorang. Karena gelisah, seseorang dapat terjerumus kepada
pelarian yang tidak semestinya, seperti malas belajar dan sekolah, malas
bekerja, minum minuman yang memabukkan dan menggunakan obat-obatan
terlarang (miras), terjerumus pada seks bebas, terdampar dalam dunia
diskotik yang penuh dengan maksiat, dan berbagai sarana pelarian lainnya
yang mengandung unsur-unsur maksiat. Jadi, satu penyakit hati ini saja dapat
menimbulkan berbagai macam efek negatif dalam kehidupan seseorang, minimal akan
menurunkan dan atau menghilangkan prestasinya, dan maksimal akan melemparnya ke
limbah maksiat dan dosa.
4.
Sangat Kikir (قَتُوْرًا)
Kikir dalam bahasa Arab
disebut sebagai bakhil dan menurut istilah berarti sifat seseorang yang amat
tercela dan hina, tidak hendak mengeluarkan harta yang wajib di keluarkan baik
dalam ketentuan agama seperti zakat, nafkah keluarga atau menurut ketentuan
perikemanusiaan seperti sedekah, infak, dan hadiah.
Imam Ibnu Jauzi dalam
kitabnya at-thibbu ar-ruhi mendefinisikan kikir sebagai sifat enggan
menunaikan kewajiban, baik harta benda ajau jasa.
Salah
satu sifat kikir sampai
keperluannya sendiri pun enggan membelanjakannya (suka menumpuk-numpuk harta
saja), apalagi untuk orang lain, Menganggap hartanya akan kekal.
5.
Sangat Ingkar (كَفُوْرًا)
Kaffar atau
kafur:
a. menyangkal ni’mat Allah yang telah diberikan
kepadanya,
b. membayarnya dengan beribadah kepada yang tidak
memberikan ni’mat, dan meninggalkan taat kepada yang memberi ni’mat.
Padahal Allah telah memberi semua yang telah diminta dan pemberianNya
tak terhitung, itu
karena mereka yakin bahwa ni’mat ada karena ilmu yang mereka miliki.
6.
Pembantah (جَدَلاً)
Allah telah menyadarkan kepada manusia dengan berbagai jalan (perumpamaan),
tapi dibantah.
Bahkan dengan berbagai nasihat dan hujjah agar ingat, kembali (taubat),
mengambil ibrah dari berbagai peribadatan kepada selain Allah, tapi yang ada
malah keraguan dan penentangan, tidak kembali kepada kebenaran dan mendengar
nasihat.
”Dia telah menciptakan manusia dari
mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (Q.S. an-Nahl 4)
7.
Tidak Berterima Kasih (كَنُوْدًا)
Allah menyebutkan empat sikap manusia terhadap ni’matNya: halu’a,
qatura, kafura, kanuda à banyak manusia yang tidak bersyukur à sedikit yang mau beribadah kepadaNya.
Karena dorongan ibadah
adalah merasakan banyaknya ni’mat Allah dan keagunganNya.
8.
Zhalim (ظَلُوْمًا)
Zalim secara bahasa mengandung
pengertian "aniaya/celaka" . Zalim secara istilah mengandung
pengertian "berbuat aniaya/celaka terhadap diri sendiri atau orang lain
dengan cara bathil yang keluar dari jalur syariat Agama Islam". Disisi
lain zalim berarti "menempatkan/meletakkan sesuatu tidak kena/sesuai
dengan tempatnya". Zalim merupakan perbuatan yang di larang oleh Allah SWT
dan termasuk dari salah satu dosa besar. Manusia yang berbuat zalim akan
mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat kelak. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam Al Quran:
"Sesungguhnya dosa besar itu
atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka
bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih". (Surah Asy-Syura :
42).
"Sesungguhnya syirik itu adalah
kezaliman yang amat besar."(Surah Luqman, ayat 13)
Zhalim:
menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya
- Terhadap ni’mat Allah : sepatutnya menempatkan dirinya sebagai orang yang bersyukur, tapi malah kufur
- Terhadap hukum Allah : sepatutnya melaksanakan dan membelanya, malah meninggalkan dan menyerangnya serta mencari hukum lain
- Terhadap amanah : sepatutnya menunaikannya, malah mengkhianatinya, seperti kasus Qabil
- Terhadap tauhid : sepatutnya mentauhidkan Allah, malah musyrik
9.
Bodoh (جَهُوْلاً)
Bukan karena tidak berpengetahuan seperti pengetahuan pada umumnya, tapi
bodoh pada sesuatu yang asasi: mengenal Pencipta (Allah SWT).
Kondisi umat Islam digambarkan oleh Abdul Qadir Audah dalam buku yang
bertajuk Islam di antara Kebodohan Umatnya dan Kelemahan Ulama.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyucian
atau at tazkiyah dalam bahasa arab berasal dari kata zakaa - yazku -
zakaa-an yang berarti suci. At tazkiyah berarti tumbuh, suci dan berkah.
Ibnu
Taimiyah menjelaskan bahwa at tazkiyah adalah menjadikan sesuatu menjadi suci
baik zatnya maupun keyakinan dan fisiknya. Allah ta’ala mensifati orang-orang yang menyucikan jiwa itu dengan
keberuntungan dan mensifati orang-orang yang mengotorinya dengan kerugian.
Bentuk-bentuk
Tazkiyah:
Pandai bersyukur (شَكُوْرٌ),
Penyabar (صَبُوْرٌ),
Amat belas kasihan (رَؤُوْفٌ),
Penyayang (رَحِيْمٌ),
Santun dan bijaksana (حَلِيْمٌ),
Selalu bertaubat (أَوَّابٌ),
Lemah lembut (أَوَّهٌ),
Sangat jujur (صَدُوْقٌ),
Dapat dipercaya (أَمِيْنٌ).
Tadsiyah atau pengotoran jiwa adalah menenggelamkan jiwa kedalam dosa dan
kemaksiatan. Ibnul qayyim al jauziyah menafsirkan sungguh merugi orang yang
menyembunyikan, merendahkan dan menghinakan jiwanya dengan kemaksiatan kepada
Allah.
Bentuk-bentuk
Tadsiyah: Tergesa-gesa (عَجُوْلاً), Keluh Kesah
lagi Kikir (هَلُوْعَا), Gelisah
(Jazuu’a), Sangat Kikir (قَتُوْرًا), Sangat
Ingkar (كَفُوْرًا), Pembantah (جَدَلاً), Tidak Berterima Kasih (كَنُوْدًا), Zhalim (ظَلُوْمًا), Bodoh (جَهُوْلاً).
Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa sesunggunya Allah memberikan dua jalan bagi
manusia yaitu kebaikan dan keburukan. Orang-orang yang menempuhi jalan kebaikan
dengan mentaati Allah dan meninggalkan perbuatan hina maka merekalah yang
menempuh jalan tazkiyah, merekalah orang-orang yang beruntung. Sedangkan mereka
yang merugi adalah yang tersesat, memilih jalan tadsiyah, dengan menenggelamkan
jiwanya ke dalam kemaksiatan.
Wallahu a’lam.
[2] Imam Ibnu Jarir ath Thobari:
Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H,
24/454
[3] Imam Imaduddin Ibnu Katsir:
Tafsir al Qur-an al Adzhim. Daar thoyyibah li an nashr wa at tauzi’, 1420 H,
8/412
[4] Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah:
Tafsir al Qur’an al Karim. Beirut: Daar wa Maktabah al Hilal. 1410 H, 571.
0 komentar:
Posting Komentar