Rabu, 22 Juni 2016

Pendidikan Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah
Meneliti sejarah bangsa Indonesia tidak akan lepas dari umat islam, baik dari perjuangan melawan penjajah maupun dalam lapangan pendidikan. Melihat kenyataan betapa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam mencapai keberhasilan dengan berjuang secara tulus ikhlas mengabdikan diri untuk kepentingan agamanya disamping mengadakan perlawanan militer.
Setelah Belanda ditaklukan oleh Jepang di Indonesia pada tanggal 8 maret 1942, maka Belanda angkat kaki dari Indonesia semenjak itu mulailah penjajahan Jepang di Indonesia.
Dengan semboyan “asia untuk bangsa asia” jepang menguasai daerah yang berpenduduk lebih dari 400 juta jiwa yang antara lain menghasilkan 50% poduksi karet dan 70% timah dunia. Indonesia yang kaya sumber bahan mentah merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfa’atkan sebaik –baiknya  untuk kepentingan perang jepang. Sehingga jepang menyerbu indonesia, karena tanah air indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah yang kaya raya dan tenaga manusia yang banyak tersebut sangat besar artinya demi kelangsungan perang pasifik, dan hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya.[1]

B. Rumusan masalah
1.      Pendidikan pada masa kolonial Belanda?
2.      Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda?
3.      Kondisi Pendidikan Pada Masa Penjajahan Jepang?
4.      Kebijakan Jepang Terhadap Agama Islam?
5.      Perkembangan Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda
Penaklukan bangsa Barat atas dunia Timur dengan jalan perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dari Kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Barat di Indonesia selama  ± 3,5 Abad.[2]
Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang bergelar Sultan Abdurrahman Khlaifatullah Sayidin Panotogomo.[3]

B. Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam di sebut juga dengan bumiputera, karena yang memasuki pendidikan islam seluruhnya orang pribumi indonesia.
Pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam,yaitu:
1.      Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam
2.      Sistem pendidikan surau (langgar)
3.      Sistem pendidikan pesantren


1. Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam
Sistem ini merupakan sistem pendidikan yang masih menggabungkan antara sistem pendidikan Hindu dengan Islam. Pada garis besarnya, pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan dua sistem, Yakni: (1) sistem Keraton;dan (2) sistem Pertapa.
Sistem pendidikan keraton ini dilaksanakan dengan cara, guru mendatangi murid-muridnya. yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para bangsawan dan kalangan keraton.
 Sebaliknya, sistem pertapa, para murid mendatangi guru ke tempat pertapaanya. adapun murid-muridnya tidak lagi terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan keraton, tetapi juga termasuk rakyat jelata.

2. Sistem Pendidikan Surau
Surau merupakan istilah yang banyak digunakan di asia tenggara, seperti Sumatera Selatan, Semenanjung Malaya, Patani (Thailand). Namun yang paling banyak dipergunakan di Minangkabau. Secara bahasa kata surau berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk menyambah arwah nenek moyang. Beberapa ahli mengatakan bahwa surau berasal dari India yang merupakan tempat yang digunakan sebagai pusat pembelajaran dan pendidikan Hindu-Budha.
Seiring dengan kedatangan Islam di Minangkabau proses pendidikan Islam dimulai oleh Syeikh Burhanudin sebagai pembawa Islam dengan menyampaikan pengajarannya melalui lembaga pendidikan surau. disurau ini anak laki-laki umumnya tinggal, sehingga memudahkan Syeikh menyampaikan pengajarannya.
Dalam lembaga pendidikan surau tidak mengenal birokrasi formal, sebagaimana yang dijumpai pada lembaga pendidikan modern. aturan yang ada didalamnya sangat dipengaruhi oleh hubungan antar individu yang terlibat. Secara kasat mata dapat dilihat dilembaga pendidikan surau tercipta kebebasan, jika murid melanggar suatu aturan yang telah disepakati bersama, murid tidak mendapatkan hukuman tapi sekedar nasihat. Lembaga surau lebih merupakan suatu proses belajar untuk sosialisasi dan interaksi kultural dari hanya sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan saja. jadi, nampak jelas fungsi learning societi di surau sangat menonjol.
Sistem pendikan di surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, murid dibedakan sesuai dengan tingkatan keilmuanya, proses belajarnya tidak kaku sama muridnya (Urang Siak) diberikan kebebasan untuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. dalam proses pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis, yang ada hanya kitab  kuning merupakan sumber utamnya dalam pembelajaran.
Metode utama dalam proses pembalajaran di surau dengan memakai metode ceramah, membaca dan menghafal. materi pembelajaran yang diberikan Syeikh kepada urang siak dilaksanakan sambil duduk di lantai dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan mencatat beberapa catatan penting disisi kitab yang dibahasnya atau dengan menggunakan buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal dengan istilah halaqoh.[4]

3. Sistem Pendidikan Pesantren
a.       Asal usul Pesantren
Secara garis besarnya, dijumpai dua macam pendapat yang mengutamakan tentang pandanganya tentang asal usul pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam.
Pertama pesantren adalah institusi pendidikan Islam, yang memang berasal dari tradisi Islam. Mereka berkesimpulan, bahwa pesantren lahir dari pola kehidupan tasawwuf, yang kemudian berkembang diwilayah Islam, seperti Timur Tengah dan Afrika utara yang dikenal dengan sebutan zawiyat.
Kedua, pesantren merupakan kelanjutan dari tradisi Hindu-Budha yang sudah mengalami proses islamisasi. mereka melihat adanya hubungan antara perkataan pesantren dengan kata Shastri dari bahasa sanskerta.  
Pesantern adalah lembaag pendidikan tertua di indonesia. Pesantren sudah menjadi milik umat Islam setelah melalui proses Islamisasi dalam sejarah perkembangannya.
KH Saifuddin Zuhri mengatakan bahwa pesantren adalah pesantren. Disana diajarkan norma-norma yang tidak mungkin dijumpai di tempat-tempat lain. Disana bukan sekedar dipelajari berbagai ilmu, dan         bukan pula sekedar melakukan ibadah saja, tetapi disana diajarkan nilai-nilai yang paling mutlak harus dimiliki seseorang dalam mengarungi kehidupan.

b.      Metode yang digunakan
1)      Metode sorogan, atau layanan individual, yaitu bentuk belajar mengajar dimana Kiyai hanya menghadapi seorang santri yang masih dalam tingkatan dasar atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkatan dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiyai, kemudian kiyai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu santri mengulangi bacaan sampai santri benar-benar membaca dengan baik. bagi santri yang telah menguasai materi lama, maka ia boleh menguasai meteri baru lagi.
2)      Metode wetonan dan bandongan, atau layanan kolektif, ialah metode mengajar Dengan sistem ceramah. Kiyai membaaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu tertentu seperti sesudah shalat berjamaah Subuh atau Isya. di daerah Jawa Barat metode ini lebih dikenal dengan istilah Bendongan. Dalam metode ini Kiyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak baacaan Kiyai sambil membuat catatan penjelasan di penggir kitabnya. Di daerah Jawa metode ini disebut (halaqoh) yakni murid mengelilingi guru yang membahas kitab.
3)      Metode Musyawarah, adalah belajar dalam bentuk seminar (diskusi) untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran-pelajaran santri ditingkat tinggi. metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiyainya. Kiyai harus menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya.[5]

c.       Kurikulum Pesantren
Menurut Karel A. Steenbrink semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda. berdasarkan wawancaranya dengan para kiyai, dia mengkomplikasi suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai dipesantren-pesantren Jawa dan umunya Madura. kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku pegangan dipesantren. Daftar tersebut meliputikitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun fiikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir.
Dari hasil penelitian Van De Berg tersebut, karel A. Steenbrink menyimpulkan antara lain kitab-kitab yang dipakai dipesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam. pendekatan terhadap al-Quran dan tidak terjadi secara langsung melainkan hanya melalui seleksi yang sudah dilakukan kitab-kitab lain khususnya kitab fikih. Disamping itu, sekalipun yang masuk ke jawa adalah Islam yang berbau sufi, namun kedudukan tasawuf menempati kedudukan yang lemah sekali dalam daftar buku tersebut. kesimpulan yang lebih utama adalah bahwa studi fikih dan tata bahasa arab merupakan profil pesantren pada akhir abad ke-19 tersebut.
Pada umumnya pendidikan di pesantren mengutamakan pelajaran fikih. Namun sekalipun mengutamakan pelajaran fikih mata pelajaran lainya tidak di abaikan sama sekali. Dalm hal ini mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu alat, pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan. pengajaran bahasa arab adalah ilmu bantu untuk pemahaman kitab-kitab agama. Pengajaran bahasa arab tersebut terdiri dari beberapa cabang dan tingkatan sebagai dasar bagi santri untuk melakukan pengajian kitab. dengan begitu, santri harus memiliki pengetahuan bahasa arab terlebih dahulu sebelum pengajian kitab yang sebenarnya dilaksanakan.
Pengajian kitab yang dimaksudkan itu adalah pengajian fikih dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Kitab-kitab fikih tersebut ditulis dalam bahasa arab.[6]

C. Kondisi Pendidikan Pada Masa Penjajahan Jepang
Sistem pendidikan Belanda yang selama ini berkembang di Indonesia, semuanya diganti oleh bangsa Jepang sesuai dengan sisitem pendidikan yang berorientasi kepada kepentingan perang. Tidak mengherankan bahwa segala komponen sistem pendidikannya ditujukan untuk kepentingan perang. Adapun karakteristik sistem pendidikan Jepang adalah sebagai berikut:

1.      Dihapusnya “dualisme pendidikan”
Pada masa Belanda terdapat dua jenis pengajaran, yaitu pengajaran kolonial dan pengajaran bumi putera, oleh jepang diganti diganti sisitem seperti itu di hilangkan. Hanya satu jenis sekolah rendah yang diadakan bagi semua lapisan masyarakat , yaitu: sekolah rakyat selama 6 tahun , yang ketika itu dipopulerkan dengan nama “Kokumin Gakko” atau disebut juga sebagai Sekolah Nippon Indonesia ( S N I ). Sekolah-sekolah desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi sekolah pertama. Serta jenjang pengajaran pun menjadi:
a.       Sekolah rakyat 6 tahun (termasuk sekolah pertama)
b.      Sekolah menengah 3 tahun
c.       Sekolah menengah tinggi 3 tahun (SMA-nya pada zaman Jepang)



2.      Berubahnya tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk menyedian tenaga cuma-cuma (romusha) dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, murid-murid diharuskan latihan fisik, latihan kemiliteran dan indroktrinasi ketat. Pada akhir zaman Jepang terdapat tanda-tanda tujuan menjepangkan anak-anak Indonesia.
3.      Proses pembelajaran diganti kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan       pendidikan.
Proses pembelajaran disekolah diganti dengan berbagai kegiatan yang dilaksanakan di sekolah antara lain:
a.       Mengumpulkan batu, pasir untuk kepentingan perang
b.      Membersihkan bengkel-bengkel & asrama militer
c.       Menanam umbi-umbian, sayur-sayuran di pekarngan sekolah untuk persediaan makanan
d.      Menanam pohon jarak untuk pelumas

4.      Pendidikan dilatih agar mempunyai semangat perang
Seorang pendidik sebelum mengajar diwajibkan terlebih dahulu mengikuti didikan dan latihan (diklat) dalam rangka penanaman ideologi dan semangat perang, yang pelaksanaannya dipusatkan di Jakarta selama tiga bulan. Untuk menanamkan semangat jepang tersebut, maka diajarkan bahasa jepang dan nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran kepada para murid.

5.      Pendidikan pada masa jepang sangat memprihatinkan
Kondisi pendidikan pada masa pemerintahan jepang bahkan lebih buruk dari pada pendidikan pada masa penjajahan belanda. Sebagai gambarannya dapat dilihat dari segi kuantitatif trend nya mengalami kemunduran (sekolah, murid,dan guru).



6.      Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
Meskipun bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah, akan tetapi sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat untuk memperkenalkan budaya jepang kepada rakyat.[7]

D. Kebijakan Jepang Terhadap Agama Islam
Walaupun kondidsi pendidikan jepang sedemikian parahnya, namun bagi agama islam ada sedikit nilai positifnya pada masa awal masuknya jepang ke Indonesia, umat islam penuh harapan bahwab cita-cita kemerdekaan Indonesia dapat terwujud, dengan masuknya jepang ke Indonesia dan terusirnya belanda. Sebagai umat islam, bangsa Indonesia yang selama ini merasakan adanya diskriminasi dalam soal kehidupan beragama, dengan masuknya jepang ke Indonesia akan berakhir. Karena itu, jepang selalu mengulang-ulang menyampaikan maksudnya menghormati dan menghargai islam. Di depan ulama, letnan jendral Imamura, pejabat militer jepang tertinggi di jawa menyampaikan pidato yang isinya  bahwa pihak jepang bertujuan untuk melindungi dan menghormati islam.[8]
Pemerintah jepang menampakkan diri seakan akan membela kepentingan islam, yang merupakan siasat untuk kepentingan dunia dua. Untuk mendekati ummat islam, mereka menempuh beberapa kebijakan, diantaranya ialah:
1.      Kantor urusan agama yang ada pada zaman belanda disebut kantoor voor islamistiche zaken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis belanda, diubah oleh jepang  menjadi kantor sumubi yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari.
2.      Para ulama islam bekerja sama dengan pimpinan-pimpinan orientalis dizinkan membentuk barisan pembela tanah air (PETA).
3.      Umat islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut majelis islam a’la indonesia (MIAI) yang bersifat kemasrayarakatan. Namun pada bulan oktober 1943 MIAI di bubarkan dan diganti dengan majelis sura muslimin indonesia (MASYUMI) Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pemerintah Jepang.[9]
4.      Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
5.      Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukkan barisan hizbullah untuk memberikan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam, barisan ini dipimpin oleh K.H. Zainal Arifin.
6.      Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan Bung Hatta.[10]

E. Perkembangan Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang
Sikap penjajah jepang terhadap pendidikan islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial belanda. Hal ini memberikan kesempatan bagi pendidikan islam untuk berkembang.

1.      Madrasah
Awal pendudukan jepang, madrasah berkembang dengan cepat terutama dari segi kuantitas. Hal ini dapat dilihat terutama di daerah Sumatra yang terkenal dengan madrasah awaliyahnya, yang diilhami oleh majlis ulama tinggi.

2.      Pendidikan agama di sekolah
Sekolah negeri diisi dengan pelajaran budi pekerti. Hal ini memberi kesempatan pada guru agama islam untuk mengisinya dengan ajaran agama, dan di dalam pendidikan agama tersebut juga di masukan ajaran tentang jihad melawan penjajah

3.      Perguruan tinggi Islam
Pemerintah jepang mengizinkan berdirinya sekolah tinggi Islam di jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, KH. Muzakkar, dan Bung Hatta.
Walaupun jepang berusaha mendekati umat islam dengan memberikan kebebasan dalam beragama dan dalam mengembangkan pendidikan namun para ulama tidak akan tunduk kepada pemerintahan jepang, apabila mereka menggangu akidah umat hal ini kita dapat saksikan bagaimana masa jepang ini perjuangan KH. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur jepang yang memerintahkan untuk melakukan seikere (menghormati kaisar jepang yang dianggap keturunan dewa matahari) . Akibat sikap tersebut beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh jepang selama 8 bulan.
Oleh karena itu, meskipuin dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-muridnya sekolah setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris-berbaris, kerja bakti (romusha), bernyayi dan sebagainya. Yang agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang ada di dalam lingkungan  pondok pesantren yang bebas dari pengwasan langsung pemerintah pendudukan jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih dapat berjalan secara wajar.
Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah adanya pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang agar masyarakat Indonesia terbiasa melakukan penghormatan kepada Tenno (Kaisar) yang dipercayai sebagai keturunan dewa matahari (Omiterasi Omikami). Sistem penghormatan kepada kaisar dengan cara membungkukkan badan menghadap Tenno, disebut dengan Seikeirei. Penghormatan Seikerei ini, biasanya diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (kimigayo).[11] Tidak semua rakyat Indonesia dapat menerima kebiasaan ini, khususnya dari kalangan Agama. Penerapan Seikerei ini ditentang umat Islam, salah satunya perlawanan yang dilakukan KH. Zainal Mustafa, seorang pemimpin pondok pesantren Sukamanah Jawa Barat. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Singaparna.

BAB III
PENUTUP


A. KESIMPULAN
Pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam,yaitu:
1.      Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam
2.      Sistem pendidikan surau (langgar)
3.      Sistem pendidikan pesantren
Adapun karakteristik sistem pendidikan Jepang adalah sebagai berikut:
1.      Dihapusnya “Dualisme pendidikan”
2.      Berubahnya tujuan pendidikan
3.      Proses pembelajaran diganti dengan kegiatan yang takada kaitannya dengan pendidikan
4.      Pendiidik diltih agar mempunyi semangat perang
5.      Pendidikan pada masa Jepang sangat memperihatihkan
6.      Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
Perkembangan pendidikan islam pada masa penjajahan Jepang meliputi:
1.      Madrasah
2.      Pendidikan agama di sekolah
3.      Perguruan tinggi islam










DAFTAR PUSTAKA


Ramayulis,Sejarah Pendidikan Islam,Jakarta: Kalam Mulia, 2011
Zuhairini, dkk,SejarahPendidikan Islam, Jakarta: BumiAksara 2011
Hasnun Asrohah,Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logis wacana Ilmu,1999
http://makalahnih.blogspot.co.id/2014/09/makalah-pendidikan-islam-pada-masa_18.html


[1] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2012, h. 339
[2] Zuhairini, dkkSejarahPendidikan Islam, Jakarta ;BumiAksara 2011 Hal.146
[3] Ibid Hal. 147
[4] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia,2011 Hal 253-256
[5] Ibid Hal 268
[6] Ibid Hal 272-273
[7] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2012, hlm. 340
[8] Ibid, hlm. 342
[9] Ibid, hlm. 343
[10] zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta, Bumi aksara, 2011, hlm. 151
[11]Hasnun Asrohah,Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Logis wacana Ilmu 1999,h 121

0 komentar:

Posting Komentar