TAHAP-TAHAP
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
Berkembangnya
manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilannya
atau ketidakberhasilannya dalam menempuh tahap sebelumnya. Pembagian
tahap-tahap ini berdasarkan periode tertentu dalam kehidupan manusia:
1. Bayi (0-1
tahun)
2. Balita (2-3
tahun)
3. Pra-sekolah
(3-6 tahun)
4. Usia sekolah
(7-12 tahun)
5. Rermaja (12-18
tahun)
6. Pemuda (usia
20-an)
7. Separuh baya
(akhir 20-an hingga 50-an)
8. Manula (usia
50-an dan seterusnya)
Tahap perkembangan peserta didik sangat
penting untuk di pahami dalam melaksanakan proses pembelajaran. Baik didalam
keluarga kita sebagai orang tua ataupun kita pada kapasitas sebagai seorang
pendidik. Dalam buku "Mengelola kecerdasan dalam pembelajaran" Hamzah
B.Uno dan Masri Kuadrat membagi tahap perkembangan peserta didik yang terdiri
dari:
1. Tahap pertama disebut periode
sensorik motorik (sekitar 0-2 tahun). Pada tahap ini anak (bayi)
menggunakan alat indera dan kemampuan motorik untuk memahami dunia sekitarnya.
2. Tahap
pra-operasional( usia 2-7 tahun). Pada tahap ini kemampuan skema
kognitifnya masih terbatas. Peserta didik suka meniru perilaku orang lain.
Perilaku yang ditiru terutama perlaku orang lain (khususnya orang tua dan guru)
yang pernah ia lihat ketika orang itu merespons terhadap perilaku orang,
keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Peserta didik mulai mampu
menggunakan kata-kata yang benar dan mengekspresikan kalimat-kalimat pendek
secara efektif.
3. Tahap operasional kongkret ( usia 7-11 tahun). Pada tahap
ini peserta didik sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya
volume dan jumlah, mempunyai kemampuan memahami cara mengombinasikan beberapa
golongan benda yang bervariasi tingkatannya. Selain itu, peserta didik sudah
mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang
kongkret.
4. Tahap
operasional formal ( usia 11-15 tahun). Pada tahap ini peserta didik sudah
menginjak usia remaja. Perkembangan kongnitif peserta didik pada tahap ini
telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan dua ragam kognitif, baik secara
simultan (serentak) maupun berurutan. Misalnya kapasitas merumuskan hipotesis
(anggapan dasar) peserta didik mampu berpikir untuk memecahkan masalah dengan
lingkungan yang ia respons. Sedangkan dengan kapasitas menggunakan
perinsip-perinsip abstrak, peserta didik akan mampu mempelajari materi
pelajaran yang abstrak, seperti agama, matematika, dan lainnya.
Perkembangan psikososial ini melengkapi tahapan perkembangan
sosial temuan Erik Erikson. Dengan hasil penelitian ini dapat segera
disimpulkan bahwa ada 10 tahap perkembangan psiko-sosial manusia selama
hidupnya yakni:
1. Usia 4-6 bulan
pra-natal. — Glad vs Fear
Perkembangan psikososial pada tahap ini lebih merupakan aktualisasi hubungan
perasaan antara anak dan ibu kandungnya. Perkembangan akan berfokus pada
perasaan senang, yang diperoleh dari siklus ultra median dalam diri ibunya.
2. Usia 7-9 bulan
pra-natal — Calmness vs Anxiety
Perkembangan tahap ini lebih bertumpu pada bagaimana manusia bisa
mengkolaborasi antara perasaan takut dan senang dalam bentuk ketenangan. Bila
pada tahap ini manusia mengalami kegagalan maka kecemasan yang akan mendominasi
diri bayi.
Eko Budhi Purwanto lebih suka menyebut kedua tahap perkembangan diatas dengan
istilah “psychobiosocial development stages, terlebih karena perkembangan
psikososial anak dalam bentuk janin secara umum juga dipengaruhi oleh
aspek-aspek perkembangan biologisnya.
Seperti yang dihasilkan dalam forum diskusi ilmiah
oleh Kendra Cherry pada ADG Guide Forum, tahapan tersebut telah lebih
disempurnakan seperti di bawah ini,
3. Bayi (0-1
tahun), Trust vs Miss-trust
Tahap kepercayaan atas harapan menjadi bagian tahapan yang sangat kritis bagi
manusia. Tahapan ini adalah bagian aneksasi pribadi manusia, karena gagalnya
perolehan kepercayaan pada tahap perkembangan ini akan sangat mungkin
menimbulkan krisis kepercayaan.
4. Balita (2-3
tahun) Autonomi vs Doubt/Shame
Tahap otonomi adalah satu tahapan dimana manusia memerlukan kesempatan untuk
mendapatkan hak untuk mengatur dirinya sendiri tanpa pengaruh kekuasaan manusia
lainnya. Apabila pemenuhan kebutuhan otonom ini tidak diperoleh, maka manusia akan selalu hidup dalam keraguan.
5. Pra-sekolah
(3-6 tahun). Initiative Versus Guilt
Tahap perkembangan lebih berfokus pada perkembangan inisiatif diri.
6. Usia sekolah
(7-12 tahun). Industry Versus Inferiority
Pada tahap ini,manusia mulai mencoba untuk beraktualisai dengan teman-temannya,
dengan tujuan agar mereka mendapatkan pengakuan atas kemampuannya. Bila menemui
kegagalan dalam perkembangan ini, manusia yang bersangkutan akan lebih menjadi
bersifat inferior.
7. Remaja (12-18 tahun). Identity Versus
Confusion
Tahap ini lebih ditekankan pada proses pencarian jati diri. Perasaan aman, dan
merdeka menjadi kebutuhan utama bagi manusia untuk dapat menikmati perkembangan
ini.
8. Pemuda (usia
20-an). Intimacy Versus Isolation
Tahap perkembangan ini lebih berfokus pada hubungan heterososial, termasuk
didalamnya harapan akan pemenuhan kebutuhan dicintai, keintiman, dan kemesraan.
9. Usia Paruh Baya
(akhir 20-an hingga 50-an). Generativity Versus Stagnation
Tahap perkembangan ini lebih berfokus pada bagaimana manusia mampu mengatasi
problem-problem sosial pada umumnya, termasuk persoalan keluarga, tetangga, dan
kebutuhan ekonomi-sosialnya.
10. Usia 65 –
meninggal. Integrity Versus Despair
Perembangan psikososial pada tahap ini akan berfokus pada pertanyaan ” Apakah
selama ini aku benar-benar berhasil, bagi diriku dan orang lain? Dan apakah aku
juga berhasil membangun hidup untuk kebahagiaan pada akhir hidupku nanti?”
Harapan akan kedamaian, ketentraman menjadi sesuatu yang membuat manusia
bersangkutan menikmati perkembangan ini
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PRIODE SEKOLAH DASAR (SD)
Dalam psikologi perkembangan, usia
peserta didik di SD berada dalam periode late childhood (akhir masa
kanak-kanak), kira-kira berada dalam rentan usia antara enam/tujuh tahun sampai
tiba saatnya anak menjadi matang secara biologis sekitar usia tiga belas tahun.
Periode ini ditandai dengan kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian
pribadi dan penyesuaian sosial anak.
Pada saat anak masuk ke kelas satu,
perubahan besar dalam kehidupan anak terjadi. Mereka dihadapkan pada suasana
lingkungan baru yang menuntut mereka untuk dapat menyesuaikan diri. Secara
psikologis dalam situasi tersebut kebanyakan anak berada dalam keadaan tidak
seimbang, anak mengalami gangguan emosional sehingga sulit untuk hidup dan
bekerja sama. Masuk ke kelas satu merupakan peristiwa penting dalam kehidupan
setiap anak sehingga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai, dan
perilaku. Hal yang sama juga terjadi pada setahun atau dua tahun terakhir pada
masa kanak-kanak (late childhood). Dalam masa ini terjadi perubahan fisik yang
menonjol yang dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku
karena menjelang berakhirnya periode ini anak mempersiapkan diri secara fisik
dan psikologis untuk memasuki masa remaja.
Sigmund Freud memberi nama fase usia
SD ini fase latent, dimana dorongan-dorongan seakan-akan mengendap (laten),
ridak menggelora seperti masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Periode SD ini
dapat dirinci menjadi dua fase, yaitu :
1.
Periode kelas-kelas rendah SD, yaitu
umur 6/7 tahun sampai 9 tahun.
2.
Periode kelas-kelas tinggi SD, yaitu
umur 9/10 tahun sampai 13 tahun.
Karakteristik masa akhir kanak-kanak
biasa diidentikkan dengan sebutan-sebutan untuk menandai kecenderungan umum
yang terjadi pada masa ini, misalnya usia yang menyulitkan, usia tidak rapi,
usia bertengkar, usia kelompok, usia penyesuaian diri, usia kreatif dan kritis,
dan usia bermain. Karakteristik anak-anak yang hampir bersifat universal pada
periode SD ini antara lain :
1.
Meningginya emosi yang intensitasnya
sering bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis.
2.
Perubahan tubuh, minat, dan peran
yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dimainkan dan menimbulkan masalah
baru.
3.
Terjadi perubahan nilai-nilai
dikarenakan perubahan minat dan perilakunya.
Kesemua perubahan-perubahan tersebut
akhirnya berdampak pada perkembangan aspek kognitif (kecerdasan), afektif
(perasaan), maupun psikomotorik (gerak).
1. Perkembangan aspek kognitif
Kemampuan
kognitif berkaitan dengan kemampuan berfikir, mencangkup kemampuan intelektual
mulai dari kemampuan mengingat sampai dengan kemampuan memecahkan masalah.
Kemampuan kognitif dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu
pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Perkembangan
kognitif pada masa kanak-kanak terjadi melalui urutan yang berbeda. Tahapan ini
membantu menerangkan cara anak berfikir, menyimpan informasi, dan beradaptasi
dengan lingkungannya. Menurut Jean Piaget terdapat empat tahapan perkembangan
kognitif pada anak-anak, antara lain :
a.
Tahap pertama disebut periode
sensorik motorik (sekitar 0-2 tahun). Pada tahap ini anak (bayi) menggunakan
alat indera dan kemampuan motorik untuk memahami dunia sekitarnya.
b.
Tahap kedua disebut periode
praoperasional (sekitar 2-7 tahun). Pada tahap ini anak dapat membuat
penyesuaian perseptual dan motorik terhadap objek dan kejadian yang
direpresentasikan dalam bentuk simbol (bayangan mental, kata-kata, isyarat)
dalam meningkatkan bentuk logika.
c.
Tahap ketiga disebut periode konkret
operasional (sekitar 7-11 tahun). Pada tahap ini anak mendapatkan struktur
logika tertentu yang membuatnya dapat melaksanakan berbagai macam operasi
mental, yang merupakan tindakan terinternalisasi yang dapat dikeluarkan bila
perlu. Anak melaksanakan operasi ini dalam situasi konkret. Operasi adalah
hubungan-hubungan logis di antara konsep-konsep atau skema-skema.
d.
Tahap keempat disebut periode formal
operasional (sekitar 11-15 tahun). Pada tahap ini operasi mental pada anak
tidak lagi terjadi pada objek konkret, tapi juga dapat diaplikasikan pada
kalimat verbal atau logika, yang tidak hanya menjangkau kenyataan melainkan
juga kemungkinan, tidak hanya menjangkau masa kini tetapi juga masa depan.
Jika melihat
tahapan-tahapan di atas, anak SD berada dalam tahap kedua dan ketiga. Sifat
khas anak SD sangat realistis, ingin tahu, dan ingin belajar. Sebagian besar
anak SD ini belum mampu memahami konsep-konsep abstrak.
Anak usia SD
sudah memiliki kemampuan untuk berfikir melalui urutan sebab-akibat dan mulai
mengenali banyak cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya. Anak usia SD ini juga dapat mempertimbangkan secara logis hasil
dari sebuah kondisi atau situasi serta tahu beberapa aturan atau strategi
berfikir, sperti penjumlahan, pengurangan, penggandaan, mengurutkan, dan mampu
memahami operasi dalam sejumlah konsep, seperti 2 + 5 = 7, 5 X 6 = 30, dan 20 –
3 = 17.
Dalam upaya
memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang
bersumber pada indera, karena anak usia SD mulai mempunyai kemampuan untuk
membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan
antara yang bersifat sementara dan yang bersifat tetap. Mereka akan tahu jika
air dalam gelas besar pendek dipindahkan ke dalam gelas kecil tinggi jumlahnya
akan tetap sama karena tidak satu tetes pun yang tumpah. Hal ini adalah karena
mereka tidak lagi mengandalkan persepsi penglihatannta, melainkan sudah mampu
menggunakan logikanya. Mereka dapat mengukur, menimbang, dan menghitung
jumlahnya, sehingga perbedaan yang nyata tida membodohkan mereka. Adanya
perhatian kepada kehidupan yang praktis dan konkret tersebut membawa
kecenderungan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang praktis.
Pada masa SD
ini disifatkan sebagai masa realisme, yaitu realisme naif (umur 8 sampai 10
tahun) dan realisme kritis (umur 10 sampai 12 tahun). Pada masa SD, aktivitas
mental anak terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian
yang pernah dialaminya.
2.
Perkembangan
aspek afektif
Kemampuan
afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati yang
menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Kemampuan afektif ini
terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena, yang
merupakan faktor internal individu. Kemampuan ini dapat dikelompokkan menjadi
lima, yaitu pengenalan/penerimaan, pemberian respon, penghargaan terhadap
nilai, pengorganisasian dan pengamalan.
Emosi yang umum
pada akhir masa kanak-kanak hampir sama dengan pola pada awal masa kanak-kanak,
perbedaannya terletak pada awal jenis situasi yang membangkitkan emosi dan
bentuk ungkapannya. Perubahan tersebut lebih merupakan akibat dari meluasnya
pengalaman dan belajarnya dari pada proses pematangan diri. Dengan bertambah
besarnya badan, anak-anak mulai mengungkapkan amarah dalam bentuk murung,
menggerutu, dan berbagai ungkapan kasar.
Pada masa akhir
kanak-kanak, ada waktu dimana anak sering mengalami emosi yang hebat. Karena
emosi cenderung kurang menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi
menjadi periode ketidakseimbangan, yaitu saat dimana anak sulit dihadapi. Meningginya
emosi tersebut dapat disebabkan karena kesadaran fisik dan lingkungan, misalnya
karena sakit atau lelah dan karena keadaan keluarga yang mengalami keretakan,
kematian atau perceraian.
Perkembangan
nilai, moral, dan sikap banyak terjadi melalui warna khas sesuai karakteristik
perkembangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan internalisasi
nilai-nilai, moral, dan sikap banyak terjadi melalui identifikasi dengan
orang-orang yang dianggap sebagai model.
3.
Perkembangan
aspek psikomotorik
Perkembangan
psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik, yang berhubungan dengan
anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otak.
Kemampuan ini terdiri dari lima kelompok, antara lain meniru, memanipulasi,
akurasi gerak, artikulasi, dan naturalisasi/otonomisasi.
Perkembangan
psikomotorik peserta didik SD memiliki kekhususan antara lain ditandai dengan
perubahan-perubahan ukuran tubuh dan proporsi tubuh. Tingkat sosial-ekonomi
orang tua juga berpengaruh terhadap anak. Anak yang berasal dari tingkat
sosial-ekonomi atas cenderung mempunyai keterampilan yang lebih tinggi
dibandingkan anak yang berasal dari tingkat sosial-ekonomi yang rendah.
Keterampilan yang dipelajari lebih terpusat pada keterampilan menolong yang
bersifat sendiri dan sosial, sedangkan anak dari tingkat sosial-ekonomi
menengah dan atas terpusat pada kelompok keterampilan bermain.
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PERIODE SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)
Dalam tahap
perkembangannya, peserta didik usia SMP berada pada periode perkembangan yang
sangat pesat dari segala aspek. Berikut ini disajikan perkembangan tersebut
yang berhubungan dengan pendidikan, yaitu perkembangan aspek kognitif, afktif,
dan psikomotorik.
1.
Perkembangan
aspek kognitif
Menurut Piaget
anak-anak SMP, yaitu usia 11-15 tahun berada pada periode formal operasional.
Pada tahap ini operasi mental pada anak tidak lagi terjadi pada objek konkret,
tapi juga dapat diaplikasikan pada kalimat verbal atau logika, yang tidak hanya
menjangkau kenyataan melainkan juga kemungkinan, tidak hanya menjangkau masa
kini tetapi juga masa depan.
Dengan demikian
pada tahap ini peserta didik sudah dapat berfikir secara abstrak dan hipotetis
sehingga mereka mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi yang
merupakan sesuatu yang bersifat abstrak.
Peserta didik
pada tahap formal operasional dapat mengintegrasikan apa yang telah mereka
pelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana untuk masa
depan. Mereka juga mampu berfikir secara sistematik, mampu berfikir bukan hanya
dalam apa yang terjadi tetapi berfikir dalam kerangka apa yang mungkin terjadi.
Mereka memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan
permasalahan. Sebuah mobil yang tiba-tiba mogok misalnya, bagi peserta didik
yang berada pada tahap operasional konkret (SD) akan mengambil kesimpulan bahwa
mobil bensinnya habis, jadi mogok. Dia hanya menghubungkan sebab-akibat dalam
satu rangkaian. Lain halnya dengan peserta didik pada tahap formal operasional
(SMP), dia memikirkan beberapa kemungkinan mengapa mobilnya mogok, seperti
mungkin businya mati, mungkin platinanya atau kemungkinan-kemungkinan lain yang
membrikan dasar bagi pemikirannya.
2. Perkembangan aspek afektif
Keberhasilan
proses pendidikan juga ditentukan oleh keberhasilan dalam perkembangan aspek
afektif peserta didik. Bloom memberikan definisi tentang aspek afektif yang
terbagi atas lima tataran afektif yang berimplikasi pada peserta didik di SMP
sebagai berikut :
a.
Sadar akan situasi, fenomena di
masyarakat dan objek di sekitarnya.
b.
Responsih terhadap stimulus-stimulus
yang ada di lingkungan mereka.
c.
Mampu menilai.
d.
Sudah mulai bisa mengorganisir
nilai-nilai dalam suatu sistem dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai
yang ada.
e.
Sudah mulai memiliki karakteristik
dan mengetahui karakteristik tersebut.
Faktor individu
yang lebih spesifik dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting dalam
penguasaan materi pendidikan meliputi :
a.
Self-esteem, yaitu penghargaan
seseorang yang diberikan seseorang kepada dirinya.
b.
Inhibition,yaitu sikap
mempertahankan diri atau melindungi ego.
c.
Anxiety, yaitu kecemasan yang
meliputi rasa frustasi, khawatir, tegang, dan sebagainya.
d.
Motivastion, merupakan dorongan untuk
melakukan suatu kegiatan.
e.
Risk-taking, yaitu keberanian
mengambil resiko.
f.
Empati, yaitu sifat yang berkaitan
dengan pelibatan diri individu pada perasaan orang lain.
3. Perkembangan aspek psikomotorik
Perkembangan
aspek psikomotorik ini juga merupakan salah satu aspek yang perlu diketahui
oleh guru. Perkembangan aspek-aspek psikomotorik peserta didik SMP melalui
tahap-tahap berikut ini :
1.
Tahap kognitif
Tahap ini
ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Hal ini terjadi
karena peserta didik masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan
gerakan-gerakannya. Mereka harus berfikir terlebih dahulu sebelum melakukan
suatu gerakan. Pada tahap ini peserta didik sering membuat kesalahan yang
kadang-kadang membuat mereka merasa frustasi.
Melakukan
kesalahan atau percobaan merupakan hal yang penting dalam proses pendidikan.
Seseorang yang pernah melakukan suatu kesalahan diharapkan dapat mengambil
pelajaran dari segala hal yang terjadi.
2.
Tahap asosiatif
Pada tahap ini
peserta didik membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang
gerakan-gerakan yang akan dilakukannya. Mereka mulai dapat mengasosiasikan
gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenalnya. Tahap
ini merupakan tahap pertengahan dalam perkembangan aspek psikomotorik peserta
didik.
Gerakan-gerakan
pada tahap ini belum merupakan gerakan-gerakan yang bersifat otomatis. Pada
tahap ini anak berfikir untuk melakukan gerakan yang akan dilakukannya lebih
sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Karena waktu yang
digunakan relatif pendek, maka gerakan-gerakannya sudah mulai tidak kaku dan
lambat.
3.
Tahap otonomi
Pada tahap ini
peserta didik telah mencapai tingkat otonomi yang tinggi. Proses belajarnya
sudah hampir lengkap meskipun mereka tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan
yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap otonomi dikarenakan peserta didik
sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan.
Pada tahap ini, gerakan-gerakan mereka telah dilakukan secara spontan sehingga
gerakan-gerakan yang dilakukannya tidak harus dipikirkanya terlebih dahulu.
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PERIODE SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Psikolog
memandang anak usia SMA sebagai individu yang berada pada tahap yang tidak
jelas dalam rangkaian proses perkembangan individu. Ketidakjelasan ini karena
mereka berada pada periode transisi, yaitu dari periode kanak-kanak menuju
periode orang dewasa. Pada masa tersebut mereka melalui masa yang disebut masa
remaja atau pubertas. Umumnya mereka tidak mau dikatakan sebagai anak-anak tapi
jika mereka disebut sebagai orang dewasa, mereka secara riil belum siap
menyandang predikat sebagai orang dewasa.
Ada
perubahan-perubahan yang bersifat universal pada masa remaja, yaitu meningginya
emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikis,
perubahan tubuh, perubahan minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
tertentu untuk dimainkannya yang kemudian menimbulkan masalah, berubahnya
minat, perilaku, dan nilai-nilai, bersikap mendua (ambivalen) terhadap
perubahan.
Perubahan-perubahan
tersebut akhirnya berdampak pada perkembangan kognitif, afektif, dan juga
psikomotorik mereka.
1. Perkembangan aspek kognitif
Pada masa
remaja terjadi kematangan intelektualitas yang berkembang bersamaan dengan
kematangan organ seksualnya. Selain terjadi perubahan fisik dan sosial, juga
terjadi perubahan dalam cara berfikir dan pengolahan informasi. Pada saat
remaja mereka mengalami periode individualisasi, di mana mereka mengembangkan
identitas diri mereka dan membentuk pendapat sendiri yang mungkin berbeda
dengan orang tuanya. Mereka mengalami deidelalisasi terhadap orang tua. Remaja
mulai menyadari bahwa orang tua mereka tidak selalu benar. Akibatnya, sering
terjadi konflik antara orang tua dan anak remaja, yang umumnya berkisar pada
perbedaan antara orang tua dan anak remaja tentang bagaimana mereka memandang
dan mendefinisikan aturan keluarga dan aturan sosial lainnya.
Remaja mulai
merasa bahwa pemecahan masalah merupakan pilihan pribadi, bukan pendapat orang
tua. Meskipun konflik di atas dapat menimbulkan masalah, tapi hal tersebut
merupakan perkembangan yang normal, bukan merupakan suatu ancaman terhadap
hubungan antara orang tua dan anak. Selain harus berfikir kritis, hendaknya
remaja juga menyadari bahwa mereka harus menghargai orang tuanya dan tetapt
meminta nasehat-nasehatnya. Oleh karena itu konflik antara mereka akan menjadi
proses untuk menjadi orang dewasa bagi anak.
Untuk
menunjukkan kematangannya, remaja terutama laki-laki juga sering terdorong
untuk menentang otoritas guru di SMA, sehingga mereka menjadi target dan
pemberontakkan mereka. Cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakkan
remaja adalah :
a. Mencoba untuk
mengerti mereka.
b. Melakukan
segala sesuatu untuk membantu mereka agar berprestasi dalam bidang ilmu yang
diajarkan. Jika para guru menyadari untuk mengembangkan
keterampilan-keteranpilan pada diri peserta didiknya walaupun dalam cara yang
terbatas, maka pemberontakkan dan sikap permusuhan di kelas akan dapat
dikurangi.
2. Perkembangan aspek afektif
Masa remaja
dikenal dengan masa storm and stress, yaitu terjadinya pergolakan emosi yang
diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang
bervariasi. Pada masa remaja (usia 12-21 tahun) terdapat beberapa fase, antara
lain :
a.
Fase remaja awal (12-15 tahun)
b.
Fase remaja pertengahan (15-18
tahun)
c.
Fase remaja akhir (18-21 tahun)
Di antara
fase-fase tersebut juga terdapat fase pubertas (11/12-16 tahun) yang terkadang
menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Pergolakan emosi
yang terjadi pada remaja tidak lepas dari bermacam-macam pengaruh, seperti
pengaruh lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya,
serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa
remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat
mereka tertuntut untuk menyesuaikan diri secara efektif. Proses penyesuaian
diri tersebut tak jarang menimbulkan masalah bagi remaja, misalnya remaja
menjadi sering melamun, mudah marah, dan menginginkan kebebasan tanpa batas
pada dirinya.
Sehubungan
dengan emosi remaja yang sering melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya
upaya yang dapat guru lakukan adalah memperlakukan peserta didik seprti orang
dewasa yang penuh dengan rasa tanggung jawab moral. Dalam hal ini, guru dapat
membantu mereka bertingkah laku progresif untuk mencapai keberhasilan dalam
pekerjaan atau tugas-tugas sekolahnya. Salah satu cara yang mendasarinya adalah
dengan memotivasi mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Bila ada
ledakan-ledakan kemarahan pada diri remaja, sebaiknya guru memperkecil ledakan
emosi tersebut dengan jalan dan tindakan yang bijaksana, lemah lembut, merubah
pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan peserta didik
tetap tak bisa diredam, guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan
konseling.
Bertambahnya
kebebasan pada para remaja bagaikan menambah “bahan bakar terhadap api”, jika
keinginan-keinginannya dihambat atau dirintangi oleh orang tua dan gurunya.
Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan meminta peserta didik mendiskusikan
perasaan-perasaan mereka. Penting bagi guru untuk memahami alasan-alasan
pemberontakkan mereka dan guru harus menekankan pentingnya bagi remaja untuk
mengendalikan dirinya karena hidup di masyarakat harus menghormati dan
menghargai keterbatasan-keterbatasan dan kebebasan individu.
3. Perkembangan aspek psikomotorik
Kemampuan
psikomotorik ini berkaitan dengan keterampilan motorik yang berhubungan dengan
anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otak.
Perkembangan psikomotorik yang dilalui oleh peserta didik SMA memiliki
kekhususan yang antara lain ditandai oleh perubahan-perubahan ukuran tubuh,
ciri kelamin yang primer, dan ciri kelamin yang sekunder. Perubahan-perubahan
tersebut dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu percepatan pertumbuhan
dan proses kematangan seksual yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Perubahan-perubahan
fisik tersebut merupakan gejala umum dalam pertumbuhan peserta didik SMA.
Perubahan-perubahan fisik tersebut bukan hanya berhubungan dengan bertambahnya
ukuran tubuh dan berubahnya proporsi tubuh saja, akan tetapi juga meliputi
ciri-ciri yang terdapat pada kelamin primer dan sekunder. Perubahan-perubahan
tersebut pada umumnya mengikuti irama tertentu. Hal ini terjadi karena pengaruh
faktor keluarga, gizi, emosi, jenis kelamin, dan kesehatan.
Peubahan-perubahan
yang dialami peserta didik SMA mempengaruhi perkembangan tingkah laku yang
ditampakkan pada perilaku yang canggung dalam proses penyesuaian diri mereka,
isolasi diri dan kelompok dari pergaulan, perilaku emosional, imitasi
berlebihan, dan lain-lain.